Oleh: Drs. H. Done A. Usman, M.AP. Setiap
tanggal 2 Mei, seluruh jajaran Pendidikan memperingati Hari Pendidikan
Nasional yang diambil dari Hari Lahirnya Ki Hajar Dewantara tanggal 2
Mei 1889, yang juga sebagai Pendiri Perguruan Taman Siswa. Ki Hajar
Dewantara ditetapkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional yang nama aslinya
Raden Mas Soewardi Suryaningrat sangat populer dengan ajarannya,
seperti Three Concentracy Theory, Among Sistem, Panca Dharma, Suci Tata
Ngesti Tunggal Chandra Sungkolo, dan sebagainya yang kini ajaran beliau
hampir lenyap dimakan zaman. Kalaulah Ki Hajar masih hidup di zaman ini,
beliau pasti menangis melihat Sistem Pendidikan Nasional saat ini yang
penuh dilema dalam mengejar perubahan. Kemana arah perubahan untuk
membawa Anak Bangsa ini sepertinya tak jelas.
Tugas Pendidikan adalah menciptakan proses perubahan melalui proses
pembelajaran (instruksional) baik di sekolah, maupun di Lembaga-lembaga
Pelatihan Kerja agar diperoleh orang yang tepat pada jabatan kerja yang
tepat (getting the right people for the right job). Ini berarti bahwa
Pendidikan yang strategis perlu dirancang dalam kerangka proses
perubahan yang berencana "Planned change relies on getting the right
people with the right attributes into the right role at the right time"
(Dalziel, Schoonover, 1988).
Selama ini masih dijumpai program-program pendidikan yang tidak jelas
keterkaitannya dengan kebutuhan organisasi dan manajemen yang selalu
menuntut perubahan-perubahan dan pembaharuan.
Peranan Institusi Pendidikan harus diarahkan menjadi pusat pemikiran
untuk melakukan prubahan-perubahan, pertumbuhan, sekaligus cerminan
model layanan dan performasi prima (centre of excellence). Tugas-tugas
yang dipangkunya adalah mendorong, mengkoordinasikan dan menyediakan
fasilitas dan situasi pembelajaran yang kondusif.
Peran selanjutnya adalah merancang berbagai kebijaksanaan, pengaturan
prosedur dan pemprograman, serta penyelenggaraan pendidikan merumuskan
masukan dan saran kepada pengambil kebijakan dalam menetapkan berbagai
jenis, bahan, metode dan teknik pembelajaran, mengevaluasi
program-program dan hasil pendidikan sekaligus memberikan umpan balik
dalam pembinaan karir anak didik.
Tujuan pendidikan bagi siswa akhirnya adalah untuk memacu realisasi modern, sehingga dengan jelas mencerminkan :
a. Arah perubahan, pertumbuhan dan indikator.
b. Rumusan terumus dalam tujuan program yang bermakna.
c. Keterkaitan dengan tujuan-tujuan nasional dan institusional.
Strategi pendidikan berkewajiban mengubah prilaku-prilaku tertentu,
mengembangkan pola pikir baru. Siswa diperkenalkan secara dini
jenis-jenis perubahan yang akan terjadi dan mengenal perubahan-perubahan
yang harus dilaksanakan untuk mengantisipasi situasi melalui apa yang
disebut "Innovative Learning" (Mochtar Buchari : 1987).
Cara belajar dewasa ini terlalu banyak berorientasi pada pengenalan
dan penerimaan, menekankan penyesuaian diri dengan apa yang sudah ada,
bersifat adaptif bukan inovatif, yang sering disebut "maintenance
learning". Hasil maintenance learning membuat siswa tidak berdaya
menghadapi situasi baru, situasi yang tidak terduga yang sering muncul
dalam bentuk gejala shock-crisis dan gejala "learning lag". Untuk memacu
pendidikan bagi para siswa, khususnya tingkat atas, diubah dari
"maintenance learning" menjadi "innovative learning" yang ciri-cirinya :
Maintenance Learning
1. Partial, analitik, spesialistik
2. Menganjurkan persaingan
3. Menekankan resolusi, tekad, action
Innovative Learning
1. Wholistik, integrative, sistemik
2. Menekankan kebersamaan
3. Menekankan tindakan.
Catatan Kritis Pendidikan Nasional
Tujuan Pendidikan Nasional seperti tersebut pada Pasal 3 Bab II
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
adalah : Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Mencermati Tujuan Pendidikan Nasional diatas, terlalu banyak
tantangan yang menghambatnya dan menjadi catatan kritis untuk segera
diperbaiki oleh pengambilan kebijakan (Kemendiknas). Berikut catatan
kritis tersebut :
Pertama : carut marut Ujian Nasional 2013, mungkin pelaksanaan UN
terburuk selama 67 tahun Indonesia merdeka. Pro dan kontra perlu
tidaknya UN, sampai sekarang belum selesai. Wajar kalau pelaksanaan UN
sekarangpun bermasalah terus, dan menuntut agar Menteri Pendidikan
mengundurkan diri.
Kedua : bongkar pasang Kurikulum. Juni 2013 pada saat memasuki tahun
ajaran baru akan terjadi perubahan kurikulum pendidikan. Waktu yang
sangat mepet dan belum dilakukannya sosialisasi ini ada kesan
"pemaksaan" dari pemangku kepentingan. Apalagi perubahan kurikulum itu
tidak menyeluruh semua tingkatan, hanya untuk kelas 1 dan 4 tingkat
sekolah dasar, dan tingkat SMP, MTs, SMA, SMK hanya kelas 1 saja.
Sejak Indonesia merdeka telah terjadi Sembilan kali perubahan
kurikulum pendidikan, namun tidak jelas kemana sasarannya. Bahkan
pemahaman di kalangan pelajar terhadap nilai-nilai nasionalisme
cenderung luntur. Lantas, kemana arah kurikulum 2013 ini?
Selain itu, dalam kurikulum 2013 tidak ada istilah penjurusan untuk
siswa Sekolah Menengah. Sebaliknya, sistem penjurusan IPA, IPS, dan
Bahasa akan diganti dengan sistem peminatan. Misalnya, siswa yang
memiliki minat di bidang IPA tetap mempelajari ilmu sosial dan sejarah,
namun porsi jam belajar untuk mata pelajaran IPA ditambah. Jadi, yang
sebelumnya cuma belajar fisika tiga jam akan berubah jadi empat jam.
Inilah garis besar perubahan kurikulum 2013 yang harus dipahami oleh
guru-guru yang ada di 148 ribu di sekolah dasar se Indonesia. Cukupkah
waktu untuk melakukan sosialisasi, sekaligus pelatihan terhadap guru
untuk memahami kurikulum baru ini? Karena guru adalah ujung tombak untuk
mensukseskan kurikulum 2013.
Ketiga : kebijakan Sertifikasi guru dan Dosen, terkesan sebagai upaya
mengejar target agar belanja Pendidikan 20 persen dari APBD/APBN mudah
dicapai karena merupakan amanat UUD 1945. Bagi guru dan Dosen yang
memiliki sertifikat akan mendapat tunjangan profesi, tentunya ini beban
APBD/APBN. Maka berlombalah para guru dan Dosen, memperoleh Sertifikat
walaupun dengan jalan curang / tidak wajar (KKN). Peningkatan kualitas
pendidikan itu tak perlu sertifikasi tapi bisa dilakukan dengan
pelatihan peningkatan kompetensi dan profesionalisme guru.
Keempat : gelar akademik, semudah menjual pisang goreng. Gelar-gelar
akademis yang diberikan perguruan-perguruan tinggi semudah menjual
pisang goreng, bayar uang kuliah, buat daftar hadir fiktif,
Skripsi-Thesis-Disertasi, diupahkan maka jadilah mahasiswa tersebut SH,
SE, MSi, doktor dan sebagainya.
Lembaga penjualan ijazah seperti itu tidak layak disebut lembaga
pendidikan atau perguruan, karena tidak meningkatkan keilmuan peserta
didiknya. Walaupun sangat mengganggu, tidak ada pihak yang dapat
menindaknya.
Nah, gelar akademis kini sudah merupakan feodalisme kebangsawanan baru. Inikah dampak kemajuan pendidikan kita?
Persoalan-persoalan dasar inilah seharusnya yang terlebih dahulu
dibenahi oleh Pemerintah. Jangan hanya bercita-cita generasi cerdas
secara akademik, tapi melupakan nilai-nilai moral yang sebenarnya dasar
dari cerminan pendidikan nasional. Generasi yang cerdas harus diimbangi
dengan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai moral, memiliki rasa
nasionalisme, menjunjung tinggi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika, serta
Pancasilais. Cerdas saja tidak cukup untuk mendongkrak mutu pendidikan
di negeri ini.
Dari organisasi/kelompok profesi pemangku jabatan fungsional guru dan
Dosen sebaiknya menuju terciptanya suatu sub-kultur masyarakat belajar
yang berorientasi pada budaya dan etos kerja yang berorientasi pada
kinerja, Komunikatif dan terbuka, suka menerima perubahan dan
pembaharuan. Untuk itu kebanggaan profesional perlu dimiliki.
Penghargaan atas peran dan prestasi tidak untuk dminta, melainkan harus
direbut atau akan diberikan sesuai dengan kinerja. Kecepatan kemajuan
suatu organisasi pendidikan ternyata lebih banyak ditentukan oleh motif
prestasinya, bukan oleh sarana, sumber-sumber dan fasilitas yang
tersedia. ***
Penulis adalah Dosen UMA / UISU Medan dan Ketua Dewan Pendidikan Kota Tebing Tinggi.
sumber